Pematangsiantar. Bongkar Kasus News – Di tengah hiruk-pikuk dunia properti, terungkap sebuah transaksi jual beli bangunan yang mengundang perhatian publik dan menyoroti potensi penyelewengan dalam sektor perpajakan. Transaksi tersebut melibatkan sebuah ruko dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No 415 dan 416 yang berlokasi di Jalan Merdeka No 139, Pematangsiantar. Penjual, Mardongan Simangunsong, melakukan kesepakatan dengan pembeli yang diduga dikendalikan, Ting Gioe Khoen. Dugaan bahwa transaksi ini direkayasa untuk menghindari kewajiban pajak menjadi sorotan utama.
Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlibat, yang identitasnya disingkat NS, diduga telah merancang skema transaksi yang merugikan keuangan daerah. Dalam surat permohonan peralihan hak No 94 dan 95/NS/PPAT/V/2018 yang diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Pematangsiantar pada 15 Mei 2018, NS mencantumkan nilai jual ruko sebesar 500 juta dan 250 juta untuk masing-masing bangunan. Padahal, bukti transaksi menunjukkan bahwa ruko tersebut dijual seharga 3,3 miliar, dengan kwitansi panjar sebesar 100 juta yang diterima oleh Sonerbin MS, anak dari Mardongan Simangunsong.
Lebih lanjut, bukti pelunasan yang mencakup tanda tangan Mardongan, istri Mardongan yaitu Sonang Simanjuntak, dan Ting Gioe Khoen, semakin menguatkan dugaan bahwa ada ketidakberesan dalam proses jual beli ini. NS bahkan membuat surat pernyataan terkait pembayaran melalui transfer bank, yang mencakup Rp 1,5 miliar ke Bank Mandiri dan Rp 1,7 miliar ke Bank Syariah.
Ada risiko besar di balik pengurangan nilai transaksi ini; NS diduga merekayasa transaksi dengan merendahkan nilai jual menjadi 750 juta, dengan tujuan untuk menghindari pajak yang lebih besar dan mengurangi pendapatan daerah. Praktik ini merugikan pendapatan negara, terutama terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang seharusnya dibayarkan oleh penjual dan pembeli sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Saat awak media mengkonfirmasi Ting Gioe Khoen di salah satu Ruko di Kota Pematangsiantar, Jumat (30/05/2025) ia memberikan jawaban yang evasif ketika ditanya mengenai nilai transaksi. Ia mengklaim bahwa informasi tersebut adalah rahasia dan meminta awak media untuk menghubungi pengacaranya, meskipun ia mengakui bahwa pembayaran telah dilakukan. Menanggapi perbedaan besar antara harga yang disepakati dan transaksi aktual, Ting Gioe Khoen malah mengalihkan perhatian dengan menyarankan untuk menanyakan “unsur-unsur terkait” tentang biaya dan utang.
Situasi ini mencerminkan dilema yang mengemuka dalam industri properti di Indonesia, di mana ketidakpatuhan terhadap peraturan perpajakan dapat merugikan keuangan negara. Transaksi semacam ini bukan hanya melibatkan pihak-pihak yang terlibat secara langsung, tetapi juga dapat menimbulkan efek domino yang merugikan masyarakat luas. Dalam konteks ini, penting bagi otoritas dan pihak berwenang untuk menyelidiki secara menyeluruh praktik semacam ini agar tindakan yang dapat merugikan negara dapat dicegah di masa depan.
Melihat konteks yang lebih luas, kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi properti. Masyarakat dan pemangku kepentingan lain perlu berperan aktif dalam mengawasi proses jual beli agar terhindar dari praktik tidak etis dan penyimpangan yang merugikan semua pihak, khususnya pendapatan daerah. (DS)